Tugas Keperawatan Medikal Bedah 2
Dosen :Akuilina Semana, S.KM, S.Kep, Ns. M.Kes.
ASUHAN KEPERAWATAN PEMASANGAN TRAKSI
KELOMPOK 1
KELAS A3
S1 KEPERAWATAN A
STIKES NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Kelompok 1
Kelas A3
1. JUFRIYANTO TAHIR
2. JUHAISA
3. JULANDARI
4. JULIANA
5. JUMARDI
6. JUNINGSI EKAWATI BHINEKA
7. JUSRANINGSI
8. JAWIDA
9. JUWILDA BARMAWI
10. JUWITA SIMON
11. KADRIANSYAH
12. KAPRI
13. KARMILA KAHAR
14. KARTIAH
15. KASMAWATI
16. KHATARINA HOMI BALA
17. KIKI REZKIYANTI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Beberapa
tulang, misalnya femur mempunyai kekuatan otot yang kuat sehingga reposisi
tidak tepat dapat dilakukan sekaligus. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke
bagian tubuh. Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot, untuk mereduksi,
menyejajarkan, mengimobilisasi fraktur, mengurangi deformitas, dan untuk
menambah ruangan di antara kedua permukaan patahan tulang. Untuk itu, traksi
diperlukan untuk reposisi dan imobilisasi pada tulang panjang.
Traksi
digunakan untuk menahan kerangka pada posisi sebenarnya, penyembuhan,
mengurangi nyeri, mengurangi kelainan bentuk atau perubahan bentuk. Penanganan
nyeri dan pencegahan komplikasi adalah dua kunci tugas perawat dalam perawatan
traksi. Komplikasi yang terjadi berhubungan dengan penggunaan traksi dan
pembatasan gerak, jika klien obesitas, cachetic,
tua, anak muda, diabetes, dan perokok (Altman, 1999).
Kadang
traksi harus dipasang dengan arah yang lebih dari satu untuk mendapatkan garis
tarikan yang diinginkan. Efek traksi yang dipasang harus dievaluasi dengan
sinar-X, dan mungkin diperlukan penyesuaian. Indikasi traksi adalah pada pasien
fraktur dan atau dislokasi. Bila otot dan jaringan lunak sudah rileks, berat
yang digunakan harus diganti untuk memperoleh gaya tarikan yang diinginkan.
B. Tujuan
1. Untuk
mengetahui definisi traksi.
2. Untuk
mengetahui tujuan pemasangan traksi.
3. Untuk
mengetahui jenis-jenis traksi.
4. Untuk
mengetahui prinsip-prinsip traksi efektif.
5. Untuk
mengetahui komplikasi pemasangan traksi dan pencegahannya.
6. Untuk
mengetahui asuhan keperawatan pemasangan traksi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Traksi adalah penggunaan kekuatan
penarikan pada bagian tubuh. Ini dicapai dengan memberi beban yang cukup untuk
mengatasi penarikan otot.
Traksi adalah tahanan yang dipakai
dengan berat atau alat lain untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang
dan otot.
Traksi
adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot; untuk
mereduksi, menyejajarkan dan mengimbolisasi fraktur; untuk mengurangi
deformitas; dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan patahan
tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk
mendapatkan efek terapeutik.
B.
Tujuan
Tujuan
pemasangan traksi pada klien yang mengalami gangguan musculoskeletal adalah
mobilisasi tulang belakang servikal, reduksi dislokasi/subluksasi, distraksi
interforamina vertebrae, dan deformitas.
C. Jenis-Jenis Traksi
Traksi
lurus atau langsung, memberikan gaya tarikan dalam satu garis lurus dengan
bagian tubuh berbaring di tempat tidur. Traksi ekstensi Buck dan traksi pelvis
merupakan contoh traksi lurus. Traksi suspensi seimbang memberi dukungan pada
ekstrimitas yang sakit di atas tempat tidur sehingga memungkinkan mobilisasi
klien sampai batas tertentu tanpa terputusnya garis tarikan. Traksi dapat
dilakukan pada kulit (traksi kulit) atau langsung ke skelet tubuh (traksi
skelet). Traksi dapat dipasang dengan tangan (traksi manual), dan merupakan
traksi sementara yang bisa digunakan pada saat pemasangan gips.
1.
Traksi
kulit
Traksi
kulit digunakan untuk mengontrol spasme kulit dan memberikan imobilisasi. Bila
dibutuhkan beban traksi yang berat dan dalam waktu yang lama, sebaiknya gunakan
traksi skelet. Traksi kulit terjadi akibat beban menarik tali, spon karet atau
bahan kanvas yang diletakkan ke kulit. Traksi pada kulit meneruskan traksi ke
struktur musculoskeletal. Beratnya beban yang dipasang sangat terbatas, tidak
boleh melebihi toleransi kulit, tidak lebih dari 2-3 kg. traksi pelvis umumnya
4,5-9 kg, tergantung berat badan klien (Smeltzer, 2002).
Menurut
Sjamsuhidayat (1997), beban tarikan pada traksi kulit tidak boleh melebihi 5
kg, karena bila beban berlebih kulit dapat mengalami nekrosis akibat tarikan
yang terjadi karena iskemia kulit. Pada kulit yang tipis, beban yang diberikan
lebih kecil lagi dan pada orang tua tidak boleh dilakukan traksi kulit. Traksi
kulit banyak dipasang pada anak-anak karena traksi skelet pada anak dapat
merusak cakram epifisis. Jadi beratnya beban traksi kulit antara 2-5 kg.
Lama
traksi, baik traksi kulit maupun traksi skelet bergantung pada tujuan traksi.
Traksi sementara untuk imobilisasi biasanya hanya beberapa hari, sedangkan
traksi untuk reposisi beserta imobilisasi lamanya sesuai dengan lama terjadinya
kalus fibrosa. Setelah terjadi kalus fibrosa, ekstremitas diimobilisasi dengan
gips. Traksi kulit apendikuler (hanya pada ekstremitas) digunakan pada orang
dewasa, termasuk traksi ekstensi Buck, traksi Russel, dan traksi Dunlop.
Traksi Buck,
ekstensi Buck (unilateral atau bilateral) adalah bentuk traksi kulit di mana
tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer
yang diinginkan. Traksi Buck digunakan untuk memberikan rasa nyaman setelah
cedera pinggul sebelum dilakukan fiksasi bedah. Sebelumnya inspeksi kulit dari
adanya abrasi dan gangguan peredaran darah. Kulit dan peredaran darah harus
salam keadaan sehat agar dapat menoleransi traksi. Kulit harus bersih dan
kering sebelum boot spon atau pita
traksi dipasang.
Traksi Russel,
traksi Russel dapat digunakan untuk fraktur pada plato tibia, menyokong lutut
yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarikan horizontal melalui
pita traksi dan balutan elastis ke tungkai bawah. Bila perlu, tungkai dapat
disangga dengan bantal agar lutut benar-benar fleksi dan menghindari tekanan
pada tumit.
Traksi Dunlop, adalah traksi yang digunakan pada ekstremitas
atas. Traksi horizontal diberikan pada humerus dalam posisi abduksi, dan traksi
vertikal diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi. Untuk menjamin traksi
kulit tetap efektif, harus dihindari adanya lipatan dan lepasnya balutan traksi
dan kontraksi harus tetap terjaga. Posisi yang benar harus dipertahankan agar
tungkai atau lengan tetap dalam posisi netral. Untuk mencegah pergerakan fragmen
tulang satu sama lain, klien dilarang memiringkan badannya namun hanya boleh
bergeser sedikit. Traksi kulit dapat menimbulkan masalah risiko, seperti
kerusakan kulit, tekanan saraf, dan kerusakan sirkulasi.
Traksi
kulit dapat mengakibatkan iritasi kulit. Kulit yang sensitif dan rapuh pada
lansia harus diidentifikasi pada pengkajian awal. Reaksi kulit yang berhubungan
langsung dengan plester dan spon harus dipantau ketat. Traksi kulitt harus
dipasang dengan kuat agar kontak dengan plester dan spon tetap erat. Gaya
geseran pada kulit harus dicegah. Plester traksi harus dipalpasi setiap hari
untuk mengetahui adanya nyeri tekan. Pada ekstremitas bawah, tumit, dan tendo
achilles harus diinspeksi beberapa kali sehari.
Boot
spon harus diangkat untuk melakukan inspeksi tiga kali sehari. Perlu
bantuan perawat lain untuk menyangga ekstremitas selama inspeksi. Lakukan
perawatan punggung minimal tiap dua jam untuk mencegah ulkus dekubitus. Gunakan
kasur udara, busa densitas padat untuk meminimalkan terjadinya ulkus kulit.
Lakukan
perawatan ekstremitas bawah untuk mencegah penekanan saraf proneus pada titik
ketika melewati sekitar leher fibula tepat di bawah lutut. Tekanan itu dapat
menyebabkan footdrop. Klien ditanya
tentang sensasi perabaannya, minta klien untuk menggerakkan jari dan kakinya.
Kelemahan dorsofleksi menunjukkan fungsi saraf proneus kommunis. Plantar fleksi
menunjukkan fungsi saraf tibialis.
Bila
traksi kulit dipasang di lengan, daerah di sekitar siku di mana saraf ulnaris
berada tidak boleh dibalut terlalu kuat. Fungsi saraf ulnaris dapat dikaji
dengan abduksi aktif jari kelingking dan sensasi rabaan pada sisi ulnar jari
kelingking.
Selain
risiko komplikasi kerusakan kulit dan tekanan saraf di atas, kerusakan
sirkulasi juga harus mendapat perhatian. Setelah traksi kulit terpasang, kaku
atau tangan diisnpeksi dari adanya gangguan peredaran darah dalam beberapa
menit hingga satu sampai dua jam. Denyut perifer dan warna, pengisian kapiler, serta
suhu jari tangan atau jari kaki harus dikaji. Kaji adanya nyeri tekan pada
betis dan adanya tanda Homan positif yang merupakan tanda adanya thrombosis
vena dalam. Anjurkan klien untuk melakukan latihan tangan dan kaki setiap jam.
2.
Traksi
Skelet
Metode
ini sering digunakan untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus, dan tulang
leher. Traksi dipasang langsung ke tulang dengan menggunakan pin metal atau
kawat (missal Steinman’s pin,
Kirchner wire) yang dimasukkan ke
dalam tulang di sebelah distal garis fraktur, menghindari saraf, pembuluh
darah, otot, tendon, dan sendi. Tong yang dipasang di kepala (missal
Gardner-Wells tong) difiksasi di kepala untuk memberikan traksi yang mengimobilisasi
fraktur leher.
Traksi
skelet biasanya menggunakan beban 7-12 kg untuk mencapai efek terapi. Beban
yang dipasang biasanya harus dapat melawan daya pemendekan akibat spasme otot
yang cedera. Ketika otot rileks, beban traksi dapat dikurangi untuk mencegah
terjadinya dislokasi garis fraktur dan untuk mencapai penyembuhan fraktur.
Mengutip pendapat Sjamsuhidajat (1997), bahwa beban traksi untuk reposisi
tulang femur dewasa biasanya 5-7 kg, pada dislokasi lama panggul bisa sampai
15-20 kg.
Kadang-kadang
traksi skelet bersifat seimbang, yang menyokong ekstremitas terkena, memungkinkan
klien dapat bergerak sampai batas-batas tertentu, dan memungkinkan kemandirian
klien maupun asuhan keperawatan, sementara traksi yang efektif tetap
dipertahankan. Bebat Thomas dengan pengait Pearson sering digunakan dengan
traksi kulit dan aparatus suspense seimbang lainnya.
Untuk
mempertahankan traksi tetap efektif, pastikan tali tetap terletak dalam alur
roda pada katrol, tali tidak rusak, pemberat tetap tergantung dengan bebas, dan
simpul pada tali terikat dengan erat. Evaluasi posisi klien, karena klien yang
merosot ke bawah dapat menyebabkan traksi tidak efektif. Beban tidak boleh
diambil dari traksi skelet kecuali jika terjadi keadaan yang membahayakan jiwa.
Bila beban diambil, tujuan penggunaannya akan hilang dan dapat terjadi cedera.
Kesejajaran
tubuh klien harus diajaga agar tarikannya efektif. Kaki diposisikan sedemikian
rupa sehingga dapat dicegah terjadinya footdrop
(plantar fleksi), rotasi ke dalam (inversi). Kaki klien harus disangga dalam
posisi netral dengan alat ortopedi.
Perlu
dipasang pegangan di atas tempat tidur, agar klien mudah untuk berpegangan.
Alat itu sangat berguna untuk membantu klien bergerak dan defekasi di tempat
tidur, serta menaikkan pinggul dari tempat tidur untuk memudahkan perawatan
punggung. Lindungi tumit dan lakukan inspeksi, karena klien sering
menggunakannya sebagai penyangga, sehingga dapat menyebabkan cedera pada
jaringan tersebut. Tempat penusukan pin (lika) perlu dikaji. Lakukan inspeksi
paling sedikit tiap delapan jam dari adanya tanda inflamasi dan bukti adanya
infeksi.
Pada
klien terpasang traksi perlu melakukan latihan, berguna untuk menjaga kekuatan
dan tonus otot, serta memperbaiki peredaran darah. Latihan dilakukan sesuai
kemampuan. Latihan aktif meliputi menarik pegangan di atas tempat tidur, fleksi
dan ekstensi kaki, latihan rentang gerak, dan menahan beban bagi sendi yang
sehat. Pada ekstremitas yang diimbilisasi, lakukan latihan kuadrisep dan
pengesetan gluteal.
Dorong
klien untuk melakukan latihan fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan
kontraksi isometrik oto-otot betis, sebnayak 10 kali tiap jam saat klien
terjaga, dapat mengurangi risiko thrombosis vena dalam. Dapat juga diberikan
stoking elastic, alat kompresi, dan terapi antikoagulan untuk mencegah
terbentuknya thrombus.
Pengangkatan
pin dapat dilakukan setelah sinar-X
menunjukkan terbentuknya kalus. Pin
dipotong sedekat mungkin dengan kulit dan diangkat oleh dokter kemudian
dipasang gips atau bidai untuk melindungi tulang yang sedang proses
penyembuhan.
D. Prinsip-Prinsip Traksi Efektif
Pemasangan
traksi menimbulkan adanya kontratraksi. Kontratraksi adalah gaya yang bekerja
dengan arah yang berlawanan. Umumnya berat badan klien dan pengaturan posisi
tempat tidur mampu memberikan konstratraksi. Kontratraksi harus dipertahankan
agar traksi tetap efektif. Traksi harus berkesinambungan agar reduksi dan
imobilisasi fraktur efektif. Traksi kulit pelvis dan serviks sering digunakan
untuk mengurangi spasme otot dan biasanya diberikan sebagai traksi intermitten.
Prinsip
traksi efektif adalah sebagai berikut:
1. Traksi
skelet tidak boleh putus
2. Beban
tidak boleh diambil kecuali bila traksi dimaksudkan intermitten
3. Tubuh
klien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur ketika traksi
dipasang
4. Tali
tidak boleh macet
5. Beban
harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat tidur atau lantai
6. Simpul
pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh katrol atau kaki tempat
tidur.
E.
Komplikasi
dan Pencegahan
Pencegahan
dan penatalaksanaan komplikasi yang timbul pada klien yang terpasang traksi adalah
sebagai berikut.
1. Dekubitus
· Periksa
kulit dari adanya tanda tekanan dan lecet, kemudian berikan intervensi awal
untuk mengurangi tekanan.
· Perubahan
posisi dengan sering dan memakai alat pelindung kulit (misal pelindung siku)
sangat membantu perubahan posisi.
· Konsultasikan
penggunaan tempat tidur khusus untuk mencegah kerusakan kulit.
· Bila
sudah ada ulkus akibat tekanan, perawat harus konsultasi dengan dokter atau
ahli terapi enterostomal, mengenai penanganannya.
2. Kongesti
Paru dan Pneumonia
· Auskultasi
paru untuk mengetahui status pernapasan klien
· Ajarkan
klien untuk napas dalam dan batuk efektif
· Konsultasikan
dengan dokter mengenai penggunaan terapi khusus, misalnya spirometri insentif,
bila riwayat klien dan data dasar menunjukkan klien berisiko tinggi mengalami
komplikasi pernapasan
· Bila
telah terjadi masalah pernapasan, perlu diberikan terapi sesuai order.
3. Konstipasi
dan Anoreksia
· Diet
tinggi serat dan tinggi cairan dapat membantu merangsang motilitas gaster.
· Bila
telah terjadi konstipasi, konsultasikan dengandokter mengenai penggunaan
pelunak tinja, laksatif, suppositoria, dan enema.
· Kaji
dan catat makanan yang disukai klien dan masukkan dalam progam diet sesuai
kebutuhan
4. Stasis
dan infeksi saluran kemih
· Pantau
masukan dan keluaran berkemih
· Anjurkan
dan ajarkan klien untuk minum dalam jumlah yang cukup dan berkemih tiap 2-3jam
sekali.
· Bila
tampak tanda dan gejala terjadi infeksi saluran kemih, konsultasikan dengan
dokter untuk menanganinya.
5. Trombosis
vena profunda
· Ajarkan
klien untuk latihan tumit dan kaki dalam batas traksi
· Dorong
untuk minum yang banuak untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang
menyertainya, yang akan menyebabkan stasis.
· Pantau
klien dari adanya tanda-tanda trombosis vena dalam dan melaporkannya ke dokter
untuk menentukan evaluasi dan terapi.
F.
Asuhan
Keperawatan
1. Pengkajian
Traksi
membatasi mobilitas dan kemandirian klien. Dampak psikologik dan fisiologik
masalah muskiloskeletal dengan terpasangnya alat traksi harus dipertimbangkan.
Perlatan sering terlihat mengerikan dan pemasangannya tampak menakutkan bagi
klien. Kebingungan, disorientasi, dan masalah perilaku dapat terjadi pada klien
yang terkungkung pada tempat terbatas dalam waktu yang cukup lama. Tingkat
ansietas klien dan respons psikologis terhadap traksi harus dikaji dan
sdipantau.
Bagian
tubuh yang ditraksi harus dikaji. Status neurovaskular (misal warna, suhu, dan
pengisian kapiler) dievaluasi dan dibandingkan dengan ekstremitas yang sehat.
Intregritas kulit harus dilengkapi sebagai data dasar, dan dilakukan pengkajian
terus-menerus. Imobilisasi dapat menyebabkan terjadinya masalah pada system
kulit, respirasi, gastrointestinal, perkemihan, dan kardiovaskular. Masalah
tersebut dapat berupa ulkus akibat tekanan, kongesti paru, stasis pneumonia,
konstipasi, kehilangan nafsu makan, stasis kemih, dan infeksi saluran kemih.
Adanya
nyeri tekan betis, hangat, kemerahan, bengkan, atau tanda Homan positif (tidak
nyaman ketika kaki didorsofleksi dengan kuat) mengarahkan adanya trombosis vena
dalam. Identifikasi awal masalah yang telah timbul dan sedang berkembang
memungkinkan dilakukan intervensi segera untuk mengatasi masalah tersebut.
2. Diagnosa
Diagnosis keperawatan pada klien menggunakan traksi menurut
Atlman (1999), adalah kerusakan mobilitas fisik, nyeri, dan risiko kerusakan
integritas kulit. Sedangkan menurut Smeltzer (2002), diagnosis keperawatan
utama yang dapat ditemukan pada klien yang dipasang traksi adalah kurang
pengetahuan mengenai program terapi, ansietas berhubungan dengan status
kesehatan dan alat traksi, nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan traksi,
imobilisasi, kurang perawatan diri: makan, higiene, atau toileting berhubungan dengan traksi, dan gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan proses penyakit traksi.
Berdasarkan dua pendapat di atas dapat disimpulkan diagnosis
keperawatan yang dapat ditemukan pada klien dengan traksi adalah sebagai
berikut.
a.
Kurang pengetahuan
mengenai program terapi
b.
Ansietas berhubungan
dengan status kesehatan dan alat traksi
c.
Nyeri dan
ketidaknyamanan berhubungan dengan traksi dan imobilisasi
d.
Kurang pearwatan diri:
makan, higiene, atau toileting
berhubungan dengan traksi
e.
Gangguan mobilitas
fisik berhubungan dengan proses penyakit dan traksi
f.
Risiko kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan pertahanan primer tidak efektif,
pembedahan.
3.
Intervensi
Berikut ini merupaka rencana asuhan keperawatan pada klien
dengan traksi, meliputi diagnosis keperawatan, tindakan keperawatam, dan
kriteria keberhasilan tindakan (kriteria evaluasi).
Dx 1: Kurang
pengetahuan mengenai program terapi
Tindakan
|
|
1.
Diskusikan
masalah patologik
2.
Jelaskan alasan
pemberian terapi traksi
3.
Ulangi dan
berikan informasi sesering mungkin
4.
Dorong
partisipasi aktif klien dalam rencana perawatan
|
Kriteria Evaluasi:
Klien
menunjukkan pemahaman terhadap program terapi:
·
Menjelaskan
tujuan traksi
·
Berpartisipasi
dalam rencana perawatan
|
Dx 2:Ansietas
berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi.
Tindakan
|
|
1.
Jelaskan
prosedur, tujuan dan implikasi pemasangan traksi
2.
Diskusikan
bersama klien tentang apa yang dikerjakan dan mengapa perlu dilakukan
3.
Lakukan
kunjungan yang sering setelah pemasangan traksi.
4.
Dorong klien
mengekspresikan perasaan dan dengarkan dengan aktif.
5.
Anjurkan
keluarga dan kerabat untuk sering berkunjung
6.
Berikan
aktivitas pengalih.
|
Kriteria Evaluasi
Klien
menunjukkan penurunan ansietas:
· Berpartisipasi aktif dalam perawatan
· Mengekspresikan perasaan dengan aktif
|
Dx 3: Nyeri
berhubungan dengan traksi dan imobilisasi
Tindakan
|
|
1.
Berikan
penyangga berupa papan pada tempat tidur dari kasur yang padat.
2.
Gunakan bantalan
kasur khusus untuk meminimalkan terjadi ulkus.
3.
Miringkan dan
rubah posisi klien dalam batas-batas traksi.
4.
Bebaskan linen
tempat tidur dari lipatan dan kelembaban
5.
Observasi setiap
keluhan klien.
|
Kriteria
Evaluasi
Klien menyebutkan peningkatan kenyamanan:
· Mengubah posisi sendiri sesering mungkin
· Kadang-kadang meminta analgesik oral.
|
Dx 4: Kurang
perawatan diri (makan, higiene, atau toileting) berhubungan dengan traksi.
Tindakan
|
|
1.
Bantu klien
memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti makan, mandi, dan berpakaian.
2.
Dekatkan alat
bantu di samping klien
3.
Tingkatkan
rutinitas untuk me-maksimalkan kemandirian klien.
|
Kriteria Evaluasi
Klien
mampu melakukan perawatan diri:
· Memerlukan sedikit bantuan pada saat makan, mandi,
berpakaian, dan toileting.
|
Dx 5: Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan proses penyakit dan traksi
Tindakan
|
|
1.
Dorong klien
untuk melakukan latihan otot dan sendi yang tidak diimobilisasi
2.
Anjurkan klien
untuk meng-gerakkan secara aktif semua sendi.
3.
Konsultasikan
dengan ahli fisioterapi.
4.
Pertahankan gaya
tarikan dan posisi yang benar untuk menghindari komplikasi akibat
ketidaksejajaran.
|
Kiteria Evaluasi
Klien
menunjukkan mobilitas yang meningkat:
· Melakukan latihan yang dianjurkan
· Menggunakan alat bantu yang aman.
|
4.
Implementasi
Implementasi
atau pelaksanaan adalah pengobatan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
meliputi tindakan yang direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran dokter
dan menjalankan ketentuan dari rumah sakit. Sebelum pelaksanaan terlebih dahulu
harus mengecek kembali data yang ada, karena kemungkinan ada perubahan data
bila terjadi demikian kemungkinan rencana harus direvisi sesuai kebutuhan
pasien.
Diagnosa
|
Tindakan
|
1.
Kurang pengetahuan mengenai program terapi
|
o Mendiskusikan masalah patologik
o Menjelaskan alasan pemberian terapi traksi
o Mengulangi dan memberi informasi sesering mungkin
o Mendorong partisipasi aktif klien dalam rencana perawatan
|
2.
Ansietas berhubungan dengan status kesehatan dan alat
traksi.
|
o Menjelaskan prosedur, tujuan dan implikasi pemasangan
traksi
o Mendiskusikan bersama klien tentang apa yang dikerjakan dan
mengapa perlu dilakukan
o Melakukan kunjungan yang sering setelah pemasangan traksi.
o Mendorong klien mengekspresikan perasaan dan dengarkan
dengan aktif.
o Menganjurkan keluarga dan kerabat untuk sering berkunjung
o Memberikan aktivitas pengalih.
|
3.
Nyeri berhubungan dengan traksi dan imobilisasi
|
o Memberikan penyangga berupa papan pada tempat tidur dari
kasur yang padat.
o Menggunakan bantalan kasur khusus untuk meminimalkan
terjadi ulkus.
o Memiringkan dan rubah posisi klien dalam batas-batas
traksi.
o Membebaskan linen tempat tidur dari lipatan dan kelembaban
o Mengobservasi setiap keluhan klien.
|
4.
Kurang perawatan diri (makan, higiene, atau toileting)
berhubungan dengan traksi.
|
o Membantu klien memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti
makan, mandi, dan berpakaian.
o Mendekatkan alat bantu di samping klien
o Meningkatkan rutinitas untuk me-maksimalkan kemandirian
klien.
|
5.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan proses penyakit
dan traksi
|
o Mendorong klien untuk melakukan latihan otot dan sendi yang
tidak diimobilisasi
o Menganjurkan klien untuk meng-gerakkan secara aktif semua
sendi.
o Mengkonsultasikan dengan ahli fisioterapi.
o Mempertahankan gaya tarikan dan posisi yang benar untuk
menghindari komplikasi akibat ketidaksejajaran.
|
5.
Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan
untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Terdiri atas:
S: Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan.
O: Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan.
A: Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data
yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil dengan
tujuan
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis
pada respons klien yang terdiri dari tindak lanjut klien, dan tindak lanjut
oleh perawat.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan, diharapkan dapat tercapai tujuan dan kriteria hasil.
a. Klien mengerti dengan program
terapi, klien menunjukkan pemahaman terhadap program terapi (menjelaskan tujuan
traksi, berpartisipasi dalam rencana perawatan.
b. Klien berpartisipasi aktif dalam
perawatan, mengekspresikan perasaan dengan aktif, dan tingkat ansietas klien
menurun.
c. Nyeri berkurang, klien mampu
mengubah posisi sendiri sesering mungkin sesuai kemampuan traksi, klien dapat
beristirahat nyenyak.
d. Klien memerlukan sedikit bantuan
pada saat makan, mandi, berpakaian dan toileting.
e. Mobilitas klien meningkat, klien
melakukan latihan yang dianjurkan, menggunakan alat bantu yang aman.
f. Tidak ditemukan adanya dekubitus dan
nyeri tekan. Kulit tetap utuh, atau tidak terjadi luka tekan lebih luas.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Traksi adalah pemasangan gaya
tarikan ke bagian tubuh. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang
diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor – faktor yang mengganggu
keefektifan tarikan traksi harus di hilangkan.
Efek traksi yang di pasang harus di
evaluasi dengan sinar x dan mungkin diperlukan penyesuaian. Bila otot dan
jaringan lunak sudah rileks, berat yang digunakan harus diganti untuk
memperoleh gaya tarik yang diinginkan.
B.
Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca
khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat memahami konsep penyakit traksi
maupun penatalaksanaanya baik medis maupun dari sisi perawatannya. Hal ini
diharapkan mampu meningkatkan kinerja dan kualitas perawat di indonesia dalam
menangani berbagai kasus penyakit dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan
sehingga tercapainya visi indonesia sehat 2015.
DAFTAR
PUSTAKA
Engram,
Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.
Ningsih,
Nurma & Lukman. 2011. Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika.
Sjamsuhidajat,
R. & Wim de Jong. 2001. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.