Sabtu, 18 Mei 2013

Antiemetik (Obat Anti Muntah)


I.             PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Hingga saat ini, mual dan masih dianggap efek samping pengobatan yang tidak bisa dihindari, terutama pasa pasien kemoterapi. Padahal dengan pengobatan tepat, hal ini bisa dihindari dan memudahkan pasien menjalani pengobatan.
Mual dan muntah merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pasien terkait pengobatan dan penyakit yang diderita. Pada pasien kanker, mual dan muntah menjadi momok sendiri pada pasien yang menjalani kemoterapi dan radiasi. Kondisi serupa juga sering ditemui pada pasien yang usai menjalani pembedahan atau operasi.
Obat-obat antiemesis digunakan untuk mencegah atau menghentikan rasa mual dan muntah setidaknya 24 jam setelah pengobatan atau operasi. Antiemesis bekerja dengan cara menghambat zat kimia tertentu yang mengaktivasi pusat mual dan muntah di otak. Untuk hasil terbaik, antiemesis diberikan sesaat sebelum tindakan kemoterapi atau radiasi.

B.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui definisi muntah
2.    Untuk mengetahui penyebab terjadinya muntah
3.    Untuk mengetahui pengertian antiemesis
4.    Untuk mengetahui jenis-jenis antiemesis

C.   Manfaat
1.    Mengetahui definisi muntah
2.    Mengetahui penyebab terjadinya muntah
3.    Mengetahui pengertian antiemesis
4.    Mengetahui jenis-jenis antiemesis















II.           TINJAUAN PUSTAKA


A.   Definisi

Muntah difenisikan sebagai keluarnya isi lambung sampai ke mulut dengan paksa atau dengan kekuatan. Mual dan muntah merupakan gejala yang umum dari gangguan fungsional saluran cerna, keduanya berfungsi sebagai perlindungan melawan toksin yang tidak sengaja tertelan.
Muntah dapat merupakan usaha mengeluarkan racun dari saluran cerna atas seperti halnya diare pada saluran cerna bawah (neurogastrenterologi). Mual adalah suatu respon yang berasal dari respon penolakan yang dapat ditimbulkan oleh rasa, cahaya, atau penciuman.


B.    Patofisiologi

Kemampuan untuk memuntahkan merupakan suatu keuntungan karena memungkinkan pengeluaran toksin dari lambung. Muntah terjadi bila terdapat rangsangan pada pusat muntah (Vomiting Centre), suatu pusat kendali di medulla berdekatan dengan pusat pernapasan atau Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema pada lantai ventrikel keempat Susunan Saraf. Koordinasi pusat muntah dapat dirangsang melalui berbagai jaras.
Muntah dapat terjadi karena tekanan psikologis melalui jaras yang kortek serebri dan system limbic menuju pusat muntah (VC). Pencegahan muntah mungkin dapat melalui mekanisme ini. Muntah terjadi jika pusat muntah terangsang melalui vestibular atau sistim vestibuloserebella dari labirint di dalam telinga. Rangsangan bahan kimia melalui darah atau cairan otak (LCS ) akan terdeteksi oleh CTZ. Mekanisme ini menjadi target dari banyak obat anti emetik. Nervus vagal dan visceral merupakan jaras keempat yang dapat menstimulasi muntah melalui iritasi saluran cerna disertai saluran cerna dan pengosongan lambung yang lambat. Sekali pusat muntah terangsang maka cascade ini akan berjalan dan akan menyebabkan timbulnya muntah.
Muntah merupakan perilaku yang komplek, dimana pada manusia muntah terdiri dari 3 aktivitas yang terkait, nausea (mual), retching dan pengeluaran isi lambung. Ada 2 regio anatomi di medulla yang mengontrol muntah, 1) chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan 2) central vomiting centre (CVC).


C.   Etiologi

Muntah umumnya didahului oleh rasa mual (nausea) meskipun tdk selalu demikian dan mempunyai ciri :
ü   Pucat
ü   Berkeringat
ü   Liur berlebihan
ü   Tachycardia
ü   Pernafasan tidak teratur


D.   Pengobatan Muntah

Antimuntah atau antiemetik adalah obat yang dapat mengatasi muntah dan mual. Antimuntah biasanya diberikan untuk mengobati penyakit mabuk kendaraan dan efek samping dari analgesik opioid, anestetik umum dan kemoterapi terhadap kanker. Obat-obatan antimuntah terdiri dari:
1.    Antagonis reseptor 5-HT3 - obat ini akan menghambat reseptor serotonin pada sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengobati mual dan muntah akibat pasca-operasi dan sitotoksik obat. Serotonin Antagonists merupakan obat yang paling sering diberikan untuk mengatasi mual muntah pasien kemoterapi, radiasi, dan bedah. Lima jenis obat dari kelas ini yang digunakan sebagai antiemesis adalah granisetron, ondansetron, dolasetron, tropisetron dan palonosetron. Serotonin antagonis bekerja dengan menghambat serotonin di otak dan usus. Obat ini bisa ditolerir dengan baik dan sangat efektif.
·         Dolasetron
·         Granisetron
·         Ondansetron
·         Tropisetron
  1. Antagonis dopamin bekerja pada otak an digunakan untuk mengatasi rasa mual dan muntah dan dihubungkan dengan penyakit neoplasma, pusing karena radiasi, opioid, obat sitotoksik, dan anestetik umum. Obat yang bekerja pada area dopamine, yakni domperidone. Obat ini merupakan dopamine antagonis yang tidak benar-benar masuk ke sistem saraf pusat. Profil domperidone sebagai antiemesis mirip dengan metoklorpamida, namun domperidone memiliki efek ekstrapiramida yang lebih ringan. Domperidone diberikan dalam bentuk oral maupun parenteral. Pada orang sehat, domperidone akan mempercepat pengosongan cairan lambung dan meningkatkan tekanan oesophageal sphincter bagian bawah. Domperidone efektif menghilangkan gejala dispepsia postprandial dan mual serta muntah karena berbagai sebab. Melalui beberapa studi obat ini lebih superior dibandingkan metoklopramida. Domperidone juga memiliki efek baik lainnya. Studi oleh Orlando dkk dari Departemen Pediatrik, Farmasi dan Perawat dari University of Western Ontario and St. Joseph's Health Care London, menunjukkan pemberian domperidone jangka pendek bisa meningkatkan produksi ASI pada perempuan yang memiliki kadar produksi ASI rendah.
·         Domperidon
·         Droperidol, Haloperidol, Klorpromazin, Prometazin, Proklorperazin. Beberapa obat ini terbatas kemampuannya karena terdapat efek samping pada ekstra-piramidal saraf dan sedatif.
·         Metoklopramid juga bekerja pada saluran cerna sebagai pro-kinetik. Buruk pada penggunaan untuk sitotoksik dan muntah pasca-operasi.
  1. Antihistamin (antagonis reseptor histamin H1), efektif pada berbagai kondisi, termasuk mabuk kendaraan dan mabuk pagi berat pada masa kehamilan. Antihistamin mencegah mual dan muntah dengan cara menghambat histamin dalam tubuh. Namun untuk pasien kemoterapi efeknya kurang kuat. Dari kelas benzamida misalnya metoklopramida, adalah antiemesis yang bekerja dengan menghambat dopamin.
·         Siklizin
·         Difenhidramin
·         Dimenhidrinat
·         Meklizin
4.    Kanabinoid digunakan pasien dengan kakeksia, mual sitotoksik, dan muntah atau karena tidak responsif pada agen lainnya. Dari golongan Cannabinoid, dronabidol merupakan antiemesis untuk pasien yang menjalani kemoterapi. Obat ini efektif diberikan dalam bentuk oral. Deksametason dan metilprednisolon adalah dua obat dari golongan kortikosteroid yang biasa digunakan sebagai antiemesis.
·         Ganja (Marijuana). Ganja digunakan dengan pertimbangan medis. CBD adalah kanabinoid yang tidak ada pada Marinol atau Cesamet.
·         Dronabinol (Marinol). Sembilan puluh persen dari penjualannya digunakan untuk pasien kanker dan AIDS. 10% lainnya digunakan untuk meredakan rasa sakit, sklerosis multipelm dan penyakit Alzheimer
·         Nabilon (Cesamet). Ditraik dari peredaran pada akhir 2006.
·         Sativex adalah spray oral yang mengandung THC dan CBD. obat ini legal pada Kanada dan beberapa negara di Eropa, namun tidak di Amerika Serikat.
5.    Benzodiazepin Dari kelas obat Benzodiazepin, lorazepam dan alprazolam adalah dua obat yang biasa digunakan sebagai antiemesis. Obat ini bisanya digunakan untuk gangguan kecemasan. Sebagai monoterapi, obat ini kurang efektif untuk mual dan muntah pasien kemoterapi dan radioterapi. Bisanya dikombinasikan dengan serotonin antagonis dan kortikosteroid. Obat-obat antipsikotik dari kelas Butrirofenon seperti haloperidol dan inapsine juga bisa digunakan sebagai antiemesis pasien kemoterapi. Cara kerja dua obat ini juga menghambat dopamine.
·         Midazolam, efektif seperti ondansetron. Perlu penelitian lebih lanjut.
·         Lorazepam merupakan pengobatan ajuvan yang baik untuk mual dengan pengobatan garis pertama seperti Komapzin atau Zofran.
6.    Antikolinergik
·         Hyoskin (atau Skopolamin)












III.         PENUTUP

A.   Kesimpulan
Muntah difenisikan sebagai keluarnya isi lambung sampai ke mulut dengan paksa atau dengan kekuatan. Muntah terjadi bila terdapat rangsangan pada pusat muntah (Vomiting Centre), suatu pusat kendali di medulla berdekatan dengan pusat pernapasan atau Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema pada lantai ventrikel keempat Susunan Saraf.
Antimuntah atau antiemetik adalah obat yang dapat mengatasi muntah dan mual. Antiemesis bekerja dengan cara menghambat zat kimia tertentu yang mengaktivasi pusat mual dan muntah di otak. Obat-obatan antimuntah terdiri dari antagonis serotonin, antagonis dopamin, antagonis histamin, antikolinergik, kanabinoid, dan benzodiasepin.

B.    Saran
Sebagai calon tenaga kesehatan sangat penting untuk mengetahui cara pemberian obat maupun cara kerja obat di dalam tubuh. Walaupun telah ada tenaga apoteker yang lebih mengkhususkan diri pada obat-obatan, tidak ada salahnya sebagai calon perawat kita mempelajari obat-obatan walaupun hanya secara umum saja.

Jumat, 17 Mei 2013

Askep Pemasangan Traksi


Tugas Keperawatan Medikal Bedah 2
Dosen :Akuilina Semana, S.KM, S.Kep, Ns. M.Kes.


ASUHAN KEPERAWATAN PEMASANGAN TRAKSI



KELOMPOK 1
KELAS A3


S1 KEPERAWATAN A
STIKES NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Kelompok 1
Kelas A3

1.    JUFRIYANTO TAHIR
2.    JUHAISA
3.    JULANDARI
4.    JULIANA
5.    JUMARDI
6.    JUNINGSI EKAWATI BHINEKA
7.    JUSRANINGSI
8.    JAWIDA
9.    JUWILDA BARMAWI
10. JUWITA SIMON
11. KADRIANSYAH
12. KAPRI
13. KARMILA KAHAR
14. KARTIAH
15. KASMAWATI
16. KHATARINA HOMI BALA
17. KIKI REZKIYANTI


I.          PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Beberapa tulang, misalnya femur mempunyai kekuatan otot yang kuat sehingga reposisi tidak tepat dapat dilakukan sekaligus. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot, untuk mereduksi, menyejajarkan, mengimobilisasi fraktur, mengurangi deformitas, dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan patahan tulang. Untuk itu, traksi diperlukan untuk reposisi dan imobilisasi pada tulang panjang.
Traksi digunakan untuk menahan kerangka pada posisi sebenarnya, penyembuhan, mengurangi nyeri, mengurangi kelainan bentuk atau perubahan bentuk. Penanganan nyeri dan pencegahan komplikasi adalah dua kunci tugas perawat dalam perawatan traksi. Komplikasi yang terjadi berhubungan dengan penggunaan traksi dan pembatasan gerak, jika klien obesitas, cachetic, tua, anak muda, diabetes, dan perokok (Altman, 1999).
Kadang traksi harus dipasang dengan arah yang lebih dari satu untuk mendapatkan garis tarikan yang diinginkan. Efek traksi yang dipasang harus dievaluasi dengan sinar-X, dan mungkin diperlukan penyesuaian. Indikasi traksi adalah pada pasien fraktur dan atau dislokasi. Bila otot dan jaringan lunak sudah rileks, berat yang digunakan harus diganti untuk memperoleh gaya tarikan yang diinginkan.

B.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi traksi.
2.      Untuk mengetahui tujuan pemasangan traksi.
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis traksi.
4.      Untuk mengetahui prinsip-prinsip traksi efektif.
5.      Untuk mengetahui komplikasi pemasangan traksi dan pencegahannya.
6.      Untuk mengetahui asuhan keperawatan pemasangan traksi.












II.       TINJAUAN PUSTAKA


A.  Definisi
Traksi adalah penggunaan kekuatan penarikan pada bagian tubuh. Ini dicapai dengan memberi beban yang cukup untuk mengatasi penarikan otot.
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot.
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi, menyejajarkan dan mengimbolisasi fraktur; untuk mengurangi deformitas; dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik.

B.   Tujuan
Tujuan pemasangan traksi pada klien yang mengalami gangguan musculoskeletal adalah mobilisasi tulang belakang servikal, reduksi dislokasi/subluksasi, distraksi interforamina vertebrae, dan deformitas.

C.  Jenis-Jenis Traksi
Traksi lurus atau langsung, memberikan gaya tarikan dalam satu garis lurus dengan bagian tubuh berbaring di tempat tidur. Traksi ekstensi Buck dan traksi pelvis merupakan contoh traksi lurus. Traksi suspensi seimbang memberi dukungan pada ekstrimitas yang sakit di atas tempat tidur sehingga memungkinkan mobilisasi klien sampai batas tertentu tanpa terputusnya garis tarikan. Traksi dapat dilakukan pada kulit (traksi kulit) atau langsung ke skelet tubuh (traksi skelet). Traksi dapat dipasang dengan tangan (traksi manual), dan merupakan traksi sementara yang bisa digunakan pada saat pemasangan gips.
1.    Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol spasme kulit dan memberikan imobilisasi. Bila dibutuhkan beban traksi yang berat dan dalam waktu yang lama, sebaiknya gunakan traksi skelet. Traksi kulit terjadi akibat beban menarik tali, spon karet atau bahan kanvas yang diletakkan ke kulit. Traksi pada kulit meneruskan traksi ke struktur musculoskeletal. Beratnya beban yang dipasang sangat terbatas, tidak boleh melebihi toleransi kulit, tidak lebih dari 2-3 kg. traksi pelvis umumnya 4,5-9 kg, tergantung berat badan klien (Smeltzer, 2002).
Menurut Sjamsuhidayat (1997), beban tarikan pada traksi kulit tidak boleh melebihi 5 kg, karena bila beban berlebih kulit dapat mengalami nekrosis akibat tarikan yang terjadi karena iskemia kulit. Pada kulit yang tipis, beban yang diberikan lebih kecil lagi dan pada orang tua tidak boleh dilakukan traksi kulit. Traksi kulit banyak dipasang pada anak-anak karena traksi skelet pada anak dapat merusak cakram epifisis. Jadi beratnya beban traksi kulit antara 2-5 kg.
Lama traksi, baik traksi kulit maupun traksi skelet bergantung pada tujuan traksi. Traksi sementara untuk imobilisasi biasanya hanya beberapa hari, sedangkan traksi untuk reposisi beserta imobilisasi lamanya sesuai dengan lama terjadinya kalus fibrosa. Setelah terjadi kalus fibrosa, ekstremitas diimobilisasi dengan gips. Traksi kulit apendikuler (hanya pada ekstremitas) digunakan pada orang dewasa, termasuk traksi ekstensi Buck, traksi Russel, dan traksi Dunlop.
Traksi Buck, ekstensi Buck (unilateral atau bilateral) adalah bentuk traksi kulit di mana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer yang diinginkan. Traksi Buck digunakan untuk memberikan rasa nyaman setelah cedera pinggul sebelum dilakukan fiksasi bedah. Sebelumnya inspeksi kulit dari adanya abrasi dan gangguan peredaran darah. Kulit dan peredaran darah harus salam keadaan sehat agar dapat menoleransi traksi. Kulit harus bersih dan kering sebelum boot spon atau pita traksi dipasang.
Traksi Russel, traksi Russel dapat digunakan untuk fraktur pada plato tibia, menyokong lutut yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarikan horizontal melalui pita traksi dan balutan elastis ke tungkai bawah. Bila perlu, tungkai dapat disangga dengan bantal agar lutut benar-benar fleksi dan menghindari tekanan pada tumit.
Traksi Dunlop,  adalah traksi yang digunakan pada ekstremitas atas. Traksi horizontal diberikan pada humerus dalam posisi abduksi, dan traksi vertikal diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi. Untuk menjamin traksi kulit tetap efektif, harus dihindari adanya lipatan dan lepasnya balutan traksi dan kontraksi harus tetap terjaga. Posisi yang benar harus dipertahankan agar tungkai atau lengan tetap dalam posisi netral. Untuk mencegah pergerakan fragmen tulang satu sama lain, klien dilarang memiringkan badannya namun hanya boleh bergeser sedikit. Traksi kulit dapat menimbulkan masalah risiko, seperti kerusakan kulit, tekanan saraf, dan kerusakan sirkulasi.
Traksi kulit dapat mengakibatkan iritasi kulit. Kulit yang sensitif dan rapuh pada lansia harus diidentifikasi pada pengkajian awal. Reaksi kulit yang berhubungan langsung dengan plester dan spon harus dipantau ketat. Traksi kulitt harus dipasang dengan kuat agar kontak dengan plester dan spon tetap erat. Gaya geseran pada kulit harus dicegah. Plester traksi harus dipalpasi setiap hari untuk mengetahui adanya nyeri tekan. Pada ekstremitas bawah, tumit, dan tendo achilles harus diinspeksi beberapa kali sehari.
 Boot spon harus diangkat untuk melakukan inspeksi tiga kali sehari. Perlu bantuan perawat lain untuk menyangga ekstremitas selama inspeksi. Lakukan perawatan punggung minimal tiap dua jam untuk mencegah ulkus dekubitus. Gunakan kasur udara, busa densitas padat untuk meminimalkan terjadinya ulkus kulit.
Lakukan perawatan ekstremitas bawah untuk mencegah penekanan saraf proneus pada titik ketika melewati sekitar leher fibula tepat di bawah lutut. Tekanan itu dapat menyebabkan footdrop. Klien ditanya tentang sensasi perabaannya, minta klien untuk menggerakkan jari dan kakinya. Kelemahan dorsofleksi menunjukkan fungsi saraf proneus kommunis. Plantar fleksi menunjukkan fungsi saraf tibialis.
Bila traksi kulit dipasang di lengan, daerah di sekitar siku di mana saraf ulnaris berada tidak boleh dibalut terlalu kuat. Fungsi saraf ulnaris dapat dikaji dengan abduksi aktif jari kelingking dan sensasi rabaan pada sisi ulnar jari kelingking.
Selain risiko komplikasi kerusakan kulit dan tekanan saraf di atas, kerusakan sirkulasi juga harus mendapat perhatian. Setelah traksi kulit terpasang, kaku atau tangan diisnpeksi dari adanya gangguan peredaran darah dalam beberapa menit hingga satu sampai dua jam. Denyut perifer dan warna, pengisian kapiler, serta suhu jari tangan atau jari kaki harus dikaji. Kaji adanya nyeri tekan pada betis dan adanya tanda Homan positif yang merupakan tanda adanya thrombosis vena dalam. Anjurkan klien untuk melakukan latihan tangan dan kaki setiap jam.

2.    Traksi Skelet
Metode ini sering digunakan untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus, dan tulang leher. Traksi dipasang langsung ke tulang dengan menggunakan pin metal atau kawat (missal Steinman’s pin, Kirchner wire) yang dimasukkan ke dalam tulang di sebelah distal garis fraktur, menghindari saraf, pembuluh darah, otot, tendon, dan sendi. Tong yang dipasang di kepala (missal Gardner-Wells tong) difiksasi di kepala untuk memberikan traksi yang mengimobilisasi fraktur leher.
Traksi skelet biasanya menggunakan beban 7-12 kg untuk mencapai efek terapi. Beban yang dipasang biasanya harus dapat melawan daya pemendekan akibat spasme otot yang cedera. Ketika otot rileks, beban traksi dapat dikurangi untuk mencegah terjadinya dislokasi garis fraktur dan untuk mencapai penyembuhan fraktur. Mengutip pendapat Sjamsuhidajat (1997), bahwa beban traksi untuk reposisi tulang femur dewasa biasanya 5-7 kg, pada dislokasi lama panggul bisa sampai 15-20 kg.
Kadang-kadang traksi skelet bersifat seimbang, yang menyokong ekstremitas terkena, memungkinkan klien dapat bergerak sampai batas-batas tertentu, dan memungkinkan kemandirian klien maupun asuhan keperawatan, sementara traksi yang efektif tetap dipertahankan. Bebat Thomas dengan pengait Pearson sering digunakan dengan traksi kulit dan aparatus suspense seimbang lainnya.
Untuk mempertahankan traksi tetap efektif, pastikan tali tetap terletak dalam alur roda pada katrol, tali tidak rusak, pemberat tetap tergantung dengan bebas, dan simpul pada tali terikat dengan erat. Evaluasi posisi klien, karena klien yang merosot ke bawah dapat menyebabkan traksi tidak efektif. Beban tidak boleh diambil dari traksi skelet kecuali jika terjadi keadaan yang membahayakan jiwa. Bila beban diambil, tujuan penggunaannya akan hilang dan dapat terjadi cedera.
Kesejajaran tubuh klien harus diajaga agar tarikannya efektif. Kaki diposisikan sedemikian rupa sehingga dapat dicegah terjadinya footdrop (plantar fleksi), rotasi ke dalam (inversi). Kaki klien harus disangga dalam posisi netral dengan alat ortopedi.
Perlu dipasang pegangan di atas tempat tidur, agar klien mudah untuk berpegangan. Alat itu sangat berguna untuk membantu klien bergerak dan defekasi di tempat tidur, serta menaikkan pinggul dari tempat tidur untuk memudahkan perawatan punggung. Lindungi tumit dan lakukan inspeksi, karena klien sering menggunakannya sebagai penyangga, sehingga dapat menyebabkan cedera pada jaringan tersebut. Tempat penusukan pin (lika) perlu dikaji. Lakukan inspeksi paling sedikit tiap delapan jam dari adanya tanda inflamasi dan bukti adanya infeksi.
Pada klien terpasang traksi perlu melakukan latihan, berguna untuk menjaga kekuatan dan tonus otot, serta memperbaiki peredaran darah. Latihan dilakukan sesuai kemampuan. Latihan aktif meliputi menarik pegangan di atas tempat tidur, fleksi dan ekstensi kaki, latihan rentang gerak, dan menahan beban bagi sendi yang sehat. Pada ekstremitas yang diimbilisasi, lakukan latihan kuadrisep dan pengesetan gluteal.
Dorong klien untuk melakukan latihan fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan kontraksi isometrik oto-otot betis, sebnayak 10 kali tiap jam saat klien terjaga, dapat mengurangi risiko thrombosis vena dalam. Dapat juga diberikan stoking elastic, alat kompresi, dan terapi antikoagulan untuk mencegah terbentuknya thrombus.
Pengangkatan pin dapat dilakukan setelah sinar-X menunjukkan terbentuknya kalus. Pin dipotong sedekat mungkin dengan kulit dan diangkat oleh dokter kemudian dipasang gips atau bidai untuk melindungi tulang yang sedang proses penyembuhan.

D.  Prinsip-Prinsip Traksi Efektif
Pemasangan traksi menimbulkan adanya kontratraksi. Kontratraksi adalah gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan. Umumnya berat badan klien dan pengaturan posisi tempat tidur mampu memberikan konstratraksi. Kontratraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif. Traksi harus berkesinambungan agar reduksi dan imobilisasi fraktur efektif. Traksi kulit pelvis dan serviks sering digunakan untuk mengurangi spasme otot dan biasanya diberikan sebagai traksi intermitten.
Prinsip traksi efektif adalah sebagai berikut:
1.    Traksi skelet tidak boleh putus
2.    Beban tidak boleh diambil kecuali bila traksi dimaksudkan intermitten
3.    Tubuh klien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur ketika traksi dipasang
4.    Tali tidak boleh macet
5.    Beban harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat tidur atau lantai
6.    Simpul pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh katrol atau kaki tempat tidur.


E.   Komplikasi dan Pencegahan
Pencegahan dan penatalaksanaan komplikasi yang timbul pada klien yang terpasang traksi adalah sebagai berikut.
1.    Dekubitus
·      Periksa kulit dari adanya tanda tekanan dan lecet, kemudian berikan intervensi awal untuk mengurangi tekanan.
·      Perubahan posisi dengan sering dan memakai alat pelindung kulit (misal pelindung siku) sangat membantu perubahan posisi.
·      Konsultasikan penggunaan tempat tidur khusus untuk mencegah kerusakan kulit.
·      Bila sudah ada ulkus akibat tekanan, perawat harus konsultasi dengan dokter atau ahli terapi enterostomal, mengenai penanganannya.
2.    Kongesti Paru dan Pneumonia
·      Auskultasi paru untuk mengetahui status pernapasan klien
·      Ajarkan klien untuk napas dalam dan batuk efektif
·      Konsultasikan dengan dokter mengenai penggunaan terapi khusus, misalnya spirometri insentif, bila riwayat klien dan data dasar menunjukkan klien berisiko tinggi mengalami komplikasi pernapasan
·      Bila telah terjadi masalah pernapasan, perlu diberikan terapi sesuai order.
3.    Konstipasi dan Anoreksia
·      Diet tinggi serat dan tinggi cairan dapat membantu merangsang motilitas gaster.
·      Bila telah terjadi konstipasi, konsultasikan dengandokter mengenai penggunaan pelunak tinja, laksatif, suppositoria, dan enema.
·      Kaji dan catat makanan yang disukai klien dan masukkan dalam progam diet sesuai kebutuhan
4.    Stasis dan infeksi saluran kemih
·      Pantau masukan dan keluaran berkemih
·      Anjurkan dan ajarkan klien untuk minum dalam jumlah yang cukup dan berkemih tiap 2-3jam sekali.
·      Bila tampak tanda dan gejala terjadi infeksi saluran kemih, konsultasikan dengan dokter untuk menanganinya.
5.    Trombosis vena profunda
·      Ajarkan klien untuk latihan tumit dan kaki dalam batas traksi
·      Dorong untuk minum yang banuak untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang menyertainya, yang akan menyebabkan stasis.
·      Pantau klien dari adanya tanda-tanda trombosis vena dalam dan melaporkannya ke dokter untuk menentukan evaluasi dan terapi.

F.   Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian
Traksi membatasi mobilitas dan kemandirian klien. Dampak psikologik dan fisiologik masalah muskiloskeletal dengan terpasangnya alat traksi harus dipertimbangkan. Perlatan sering terlihat mengerikan dan pemasangannya tampak menakutkan bagi klien. Kebingungan, disorientasi, dan masalah perilaku dapat terjadi pada klien yang terkungkung pada tempat terbatas dalam waktu yang cukup lama. Tingkat ansietas klien dan respons psikologis terhadap traksi harus dikaji dan sdipantau.
Bagian tubuh yang ditraksi harus dikaji. Status neurovaskular (misal warna, suhu, dan pengisian kapiler) dievaluasi dan dibandingkan dengan ekstremitas yang sehat. Intregritas kulit harus dilengkapi sebagai data dasar, dan dilakukan pengkajian terus-menerus. Imobilisasi dapat menyebabkan terjadinya masalah pada system kulit, respirasi, gastrointestinal, perkemihan, dan kardiovaskular. Masalah tersebut dapat berupa ulkus akibat tekanan, kongesti paru, stasis pneumonia, konstipasi, kehilangan nafsu makan, stasis kemih, dan infeksi saluran kemih.
Adanya nyeri tekan betis, hangat, kemerahan, bengkan, atau tanda Homan positif (tidak nyaman ketika kaki didorsofleksi dengan kuat) mengarahkan adanya trombosis vena dalam. Identifikasi awal masalah yang telah timbul dan sedang berkembang memungkinkan dilakukan intervensi segera untuk mengatasi masalah tersebut.
2.    Diagnosa
Diagnosis keperawatan pada klien menggunakan traksi menurut Atlman (1999), adalah kerusakan mobilitas fisik, nyeri, dan risiko kerusakan integritas kulit. Sedangkan menurut Smeltzer (2002), diagnosis keperawatan utama yang dapat ditemukan pada klien yang dipasang traksi adalah kurang pengetahuan mengenai program terapi, ansietas berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi, nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan traksi, imobilisasi, kurang perawatan diri: makan, higiene, atau toileting berhubungan dengan traksi, dan gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan proses penyakit traksi.
Berdasarkan dua pendapat di atas dapat disimpulkan diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada klien dengan traksi adalah sebagai berikut.
a.    Kurang pengetahuan mengenai program terapi
b.    Ansietas berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi
c.    Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan traksi dan imobilisasi
d.   Kurang pearwatan diri: makan, higiene, atau toileting berhubungan dengan traksi
e.    Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan proses penyakit dan traksi
f.     Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pertahanan primer tidak efektif, pembedahan.

3.    Intervensi
Berikut ini merupaka rencana asuhan keperawatan pada klien dengan traksi, meliputi diagnosis keperawatan, tindakan keperawatam, dan kriteria keberhasilan tindakan (kriteria evaluasi).
*   Dx 1: Kurang pengetahuan mengenai program terapi
Tindakan

1.    Diskusikan masalah patologik
2.    Jelaskan alasan pemberian terapi traksi
3.    Ulangi dan berikan informasi sesering mungkin
4.    Dorong partisipasi aktif klien dalam rencana perawatan
Kriteria Evaluasi:
Klien menunjukkan pemahaman terhadap program terapi:
·      Menjelaskan tujuan traksi
·      Berpartisipasi dalam rencana perawatan


*   Dx 2:Ansietas berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi.
Tindakan

1.    Jelaskan prosedur, tujuan dan implikasi pemasangan traksi
2.    Diskusikan bersama klien tentang apa yang dikerjakan dan mengapa perlu dilakukan
3.    Lakukan kunjungan yang sering setelah pemasangan traksi.
4.    Dorong klien mengekspresikan perasaan dan dengarkan dengan aktif.
5.    Anjurkan keluarga dan kerabat untuk sering berkunjung
6.    Berikan aktivitas pengalih.
Kriteria Evaluasi
Klien menunjukkan penurunan ansietas:
·    Berpartisipasi aktif dalam perawatan
·    Mengekspresikan perasaan dengan aktif


*   Dx 3: Nyeri berhubungan dengan traksi dan imobilisasi
Tindakan

1.    Berikan penyangga berupa papan pada tempat tidur dari kasur yang padat.
2.    Gunakan bantalan kasur khusus untuk meminimalkan terjadi ulkus.
3.    Miringkan dan rubah posisi klien dalam batas-batas traksi.
4.    Bebaskan linen tempat tidur dari lipatan dan kelembaban
5.    Observasi setiap keluhan klien.
Kriteria Evaluasi
Klien menyebutkan peningkatan kenyamanan:
·     Mengubah posisi sendiri sesering mungkin
·     Kadang-kadang meminta analgesik oral.


*   Dx 4: Kurang perawatan diri (makan, higiene, atau toileting) berhubungan dengan traksi.
Tindakan

1.   Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti makan, mandi, dan berpakaian.
2.   Dekatkan alat bantu di samping klien
3.   Tingkatkan rutinitas untuk me-maksimalkan kemandirian klien.
Kriteria Evaluasi
Klien mampu melakukan perawatan diri:
·     Memerlukan sedikit bantuan pada saat makan, mandi, berpakaian, dan toileting.

*   Dx 5: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan proses penyakit dan traksi
Tindakan

1.   Dorong klien untuk melakukan latihan otot dan sendi yang tidak diimobilisasi
2.   Anjurkan klien untuk meng-gerakkan secara aktif semua sendi.
3.   Konsultasikan dengan ahli fisioterapi.
4.   Pertahankan gaya tarikan dan posisi yang benar untuk menghindari komplikasi akibat ketidaksejajaran.
Kiteria Evaluasi
Klien menunjukkan mobilitas yang meningkat:
·     Melakukan latihan yang dianjurkan
·     Menggunakan alat bantu yang aman.

4.    Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan adalah pengobatan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi tindakan yang direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran dokter dan menjalankan ketentuan dari rumah sakit. Sebelum pelaksanaan terlebih dahulu harus mengecek kembali data yang ada, karena kemungkinan ada perubahan data bila terjadi demikian kemungkinan rencana harus direvisi sesuai kebutuhan pasien.
Diagnosa
Tindakan                                                                
1.   Kurang pengetahuan mengenai program terapi
o  Mendiskusikan masalah patologik
o  Menjelaskan alasan pemberian terapi traksi
o  Mengulangi dan memberi informasi sesering mungkin
o  Mendorong partisipasi aktif klien dalam rencana perawatan
2.   Ansietas berhubungan dengan status kesehatan dan alat traksi.
o  Menjelaskan prosedur, tujuan dan implikasi pemasangan traksi
o  Mendiskusikan bersama klien tentang apa yang dikerjakan dan mengapa perlu dilakukan
o  Melakukan kunjungan yang sering setelah pemasangan traksi.
o  Mendorong klien mengekspresikan perasaan dan dengarkan dengan aktif.
o  Menganjurkan keluarga dan kerabat untuk sering berkunjung
o  Memberikan aktivitas pengalih.
3.   Nyeri berhubungan dengan traksi dan imobilisasi
o  Memberikan penyangga berupa papan pada tempat tidur dari kasur yang padat.
o  Menggunakan bantalan kasur khusus untuk meminimalkan terjadi ulkus.
o  Memiringkan dan rubah posisi klien dalam batas-batas traksi.
o  Membebaskan linen tempat tidur dari lipatan dan kelembaban
o  Mengobservasi setiap keluhan klien.
4.   Kurang perawatan diri (makan, higiene, atau toileting) berhubungan dengan traksi.
o  Membantu klien memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti makan, mandi, dan berpakaian.
o  Mendekatkan alat bantu di samping klien
o  Meningkatkan rutinitas untuk me-maksimalkan kemandirian klien.
5.   Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan proses penyakit dan traksi
o  Mendorong klien untuk melakukan latihan otot dan sendi yang tidak diimobilisasi
o  Menganjurkan klien untuk meng-gerakkan secara aktif semua sendi.
o  Mengkonsultasikan dengan ahli fisioterapi.
o  Mempertahankan gaya tarikan dan posisi yang benar untuk menghindari komplikasi akibat ketidaksejajaran.

5.    Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Terdiri atas:
S: Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O: Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A: Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respons klien yang terdiri dari tindak lanjut klien, dan tindak lanjut oleh perawat.
Setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan dapat tercapai tujuan dan kriteria hasil.
a.    Klien mengerti dengan program terapi, klien menunjukkan pemahaman terhadap program terapi (menjelaskan tujuan traksi, berpartisipasi dalam rencana perawatan.
b.    Klien berpartisipasi aktif dalam perawatan, mengekspresikan perasaan dengan aktif, dan tingkat ansietas klien menurun.
c.    Nyeri berkurang, klien mampu mengubah posisi sendiri sesering mungkin sesuai kemampuan traksi, klien dapat beristirahat nyenyak.
d.   Klien memerlukan sedikit bantuan pada saat makan, mandi, berpakaian dan toileting.
e.    Mobilitas klien meningkat, klien melakukan latihan yang dianjurkan, menggunakan alat bantu yang aman.
f.     Tidak ditemukan adanya dekubitus dan nyeri tekan. Kulit tetap utuh, atau tidak terjadi luka tekan lebih luas. 
















III.    PENUTUP


A.  Kesimpulan
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor – faktor yang mengganggu keefektifan tarikan traksi harus di hilangkan.
Efek traksi yang di pasang harus di evaluasi dengan sinar x dan mungkin diperlukan penyesuaian. Bila otot dan jaringan lunak sudah rileks, berat yang digunakan harus diganti untuk memperoleh gaya tarik yang diinginkan.

B.   Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat memahami konsep penyakit traksi maupun penatalaksanaanya baik medis maupun dari sisi perawatannya. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kinerja dan kualitas perawat di indonesia dalam menangani berbagai kasus penyakit dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga tercapainya visi indonesia sehat 2015.




DAFTAR PUSTAKA


Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.
Ningsih, Nurma & Lukman. 2011. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Sjamsuhidajat, R. & Wim de Jong. 2001. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.